Rabu, 10 Januari 2024

Kurasa Aku Merindukan Matahari

Cuaca sungguh dingin di luar, langit juga mendung kelabu. Sungguh tidak menyenangkan. Rasanya seperti langit sedang mengajakmu bersedih dengannya, padahal kau sedang ingin merasakan semangat.

Dengan cuaca seperti ini, aku sungguh malas untuk pergi keluar. Aku tidak menyukai dingin, aku akan mulai pusing dan batuk-batuk ketika suhu terlalu dingin untukku. Karena itu, aku memutuskan untuk tinggal di rumah saja hari ini. Aku akan menyelesaikan templat jurnal yang sedang aku buat.

Ah, bahkan untuk menulis ini pun aku tidak terlalu bersemangat. Sepertinya aku terlahir dari negara api, mungkin saja aku adik Zuko, Bagaimana bisa dengan awan yang menutup matahari, energiku terasa seperti tertutup juga. Hahahaha. Ah, sudahlah, hari ini aku menulis pendek saja.

Selasa, 09 Januari 2024

11 Hari Menuju Konser

11 hari lagi sebelum konser The Rose di Jakarta. Tentu saja aku mulai menyiapkan segalanya. Seperti gadis (atau laki-laki) lain yang akan bertemu idolanya, aku pun heboh dan bersemangat memikirkan baju apa yang akan aku pakai nanti. Aku tau, personil dari The Rose tidak akan memperhatikanku yang memakai baju tercantik di seluruh dunia, hanya saja aku ingin tampil cantik untuk acara-acara yang ingin aku kenang terus sampai tua nanti.

Hari ini aku mulai mencoba memadumadankan pakaian yang aku punya. Aku sudah punya ide besar, gaya apa yang akan aku pakai nantinya. Aku juga sudah mengubah celana Mama yang sudah tidak dia pakai, memotongnya menjadi pendek, dan mengecilkan bagian perutnya (Ah, ya perutku sangat kecil dan sangat susah mencari celana yang pas untukku). Aku juga meminjam kaos hitam milik pacarku.

"Pokoknya aku tidak ingin beli-beli lagi. Aku mau pakai apa yang ada saja," begitu kataku. Aku sudah 2 kali datang ke konser idolaku. Memang aku akan membeli baju baru dan tampil berbeda di setiap konser. Namun, kali ini aku hanya ingin memakai apapun yang aku punya. Karena selain masalah linkungan dan hidup minimalis seperti yang aku inginkan, aku juga sudah punya banyak pakaian, hanya perlu kemampuan padu-padan pakaian. Kurasa aku juga ahli dalam hal itu.

"Bagus sekali, aku terlihat sangat cantik," kataku memandangi diriku di cermin dengan turtleneck merah tua dan kaos hitam, celana pendek, serta kaos kaki panjang.

"Kurasa ada yang kurang, pakaian ini kurang sedikit menunjukkan diriku. Aku yang berisik, energik, berani, dan beda," pikirku.

Aku mencoba menambahkan beberapa aksesoris seperti kalung dan cincin. Lalu aku berencana membeli pita merah dan hitam, dan menempelkannya dengan peniti di celana. Wow, aku sungguh naik level dalam hal berpakaian, dan aku suka itu.

Kemudian aku ingat masih banyak hal lain yang harus aku siapkan untuk konser. Anggaran makan, jadwal dan daftar harian, serta beberapa hal lain. Ini masih 11 hari sebelum konser itu dimulai, namun aku sudah sibuk menyiapkan segalanya. Mungkin orang-orang akan berpikir aku berlebihan, tapi inilah aku. Seperti yang sudah kutulis pada tulisan pertamaku di blog ini, aku harus merencanakan segalanya sedetail mungkin, dan aku tidak dapat hidup tanpa rencana yang matang.

Senin, 08 Januari 2024

Balada Kecerdasan Buatan

Dunia maya sedang dihebohkan oleh kecerdasan buatan yang semakin lama kian berkembang. Beberapa orang senang dengan kehadirannya karena memudahkan segala pekerjaan, dan hemat tentu saja. Yang lain tidak mendukung adanya kecerdasan buatan ini karena mengancam pekerjaan mereka.

Aku tentu saja si-yang-pekerjaannya-terancam atas munculnya kecerdasan buatan. Ya, aku si seniman yang orang bilang bisa dengan mudah digantikan oleh robot dengan kecerdasan buatan.

Namun, aku tidak takut. Kalaupun suatu hari nanti ada peperangan antara manusia dan robot, seperti dalam film 'Mitchells and the Machines', kurasa manusia akan tetap menang.

Aku telah memperhatikan berbagai karya visual yang dibuat oleh kecerdasan buatan. Yah, proses pembuatannya cukup mudah, kau hanya perlu menuliskan lukisan yang seperti apa yang ingin kamu dapatkan, objek apa, latar belakang bagaimana, karakteristik objek, lalu tunggu sampai robot itu bekerja dan menghasilkan sebuah karya untukmu. 

Hanya saja, setelah aku menemukan puluhan (tidak, ratusan) gambar yang dibuat oleh robot kecerdasan buatan ini, aku merasa bosan. Robot itu menghasilkan pola yang sama, dan seluruh karya dari kecerdasan buatan seperti tak bernyawa. Yah, tidak bisa kupungkiri bahwa hasilnya bagus dan detail (meski masih banyak kesalahan di sana-sini), pewarnaan yang bagus, gambar seperti seorang seniman yang telah berlatih puluhan tahun, Namun, terasa dingin dan tak bernyawa. Aku tidak pernah menemukan sebuah perasaan hangat, atau perasaan-perasaan lain dari gambar yang dihasilkan robot.

Bukankah seharusnya itu esensi dari sebuah karya seni? Kita bisa merasakan apa yang sebenarnya dirasakan dan ingin disampaikan oleh sang seniman, hanya dengan melihat karya asli hasil dari kedua tangannya  (dan hati serta pikiran sang seniman). Seringkali aku pergi ke galeri atau museum seni, memperhatikan lukisan-lukisan, patung, atau karya seni dengan media lainnya, yang dibuat langsung oleh manusia, dan merasakan sesuatu yang mungkin saja belum pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan yang datang dari setiap karya seni di galeri yang aku kunjungi. Terkadang aku merasakan marah setelah melihat sebuah lukisan, terkadang aku merasakan ada yang memelukku, perasaan aman dan nyaman, pada sebuah karya seni patung, kadang juga aku bisa menangis di depan sebuah karya yang membuatku merasakan sakit dan penderitaan. Aku sungguh menyukai pengalaman ini, pengalaman yang hanya bisa kau dapatkan pada karya yang dibuat asli oleh tangan manusia, dibubuhi cerita dan pengalaman dari si pencipta karya. Sungguh, rasanya menyenangkan, seperti menjadi bagian dari sang seniman.

Pengalaman dan perasaan unik itu lah yang tidak pernah aku dapatkan dari karya-karya yang dihasilkan oleh robot. Pasalnya hasil dengan bentuk, warna, dan detail yang ciamik, bukan berarti bagus dan cocok untuk penonton. Dalam sebuah karya pun ada cerita, komposisi dan mood, dan itulah yang menggiring penonton untuk ikut masuk ke dunia sang pencipta karya.

Tetap saja, apakah nanti akan ada peperangan robot kecerdasan buatan dengan manusia?

Minggu, 07 Januari 2024

Menulis Pagi Hari

 Aku pernah dengar istilah brain dump dari media sosial. Secara bahasa itu berarti sampah pikiran, pun dijelaskan dalam sebuah konten di sosial media, bahwa menuliskan apapun yang kita pikirkan pada secarik kertas. Apapun. Sungguh, apapun.

Kurasa isi pikiran manusia itu sungguh carut-marut. Mungkin sekarang aku memikirkan tentang tikus, detik selanjutnya aku bisa tiba-tiba saja memikirkan bagaimana cara menghidupkan kembali dinosaurus, atau kue panekuk dengan selai bluberi.

Karena itu beberapa orang mempercayai dengan menuliskan apapun yang kamu pikirkan, baik beraturan ataupun hal acak yang sedang terlintas di pikiranmu, akan membuatmu lebih tenang. Beberapa bilang metode ini juga termasuk efektif untuk mengenal diri sendiri.

Sejujurnya aku belum pernah mendengarnya. Ya, aku memang suka menulis jurnal dan apapun yang aku pikirkan atau aku alami, tapi biasanya aku punya tema. Aku punya 1 pokok pikiran yang akan aku tulis. Namun, brain dump itu berbeda. Metode ini benar-benar tanpa tema atau gagasan utama, kau hanya harus menggerakkan tanganmu di atas kertas, menuliskan setiap kata atau benda, atau apapun yang terlintas di pikiranmu. Bahkan tidak ada waktu berpikir seperti "aku menulis apa, ya?", yah, biarkanlah mengalir begitu saja.

Rasanya terdengar seperti meditasi.

Sungguh, aku tertarik mencobanya. Kau hanya perlu meletakkan secarik kertas dan pensil atau bolpoin di sebelah tempat tidurmu. Setiap kau bangun tidur, sebelum beranjak dan melakukan aktivitas lainnya, tulislah dulu apapun itu.

Masalahnya memulai kebiasaan ini cukup sulit, meski terlihat mudah. Membangun kebiasaan baru memang butuh waktu, apalagi jika kita punya satu kebiasaan kuat yang sudah tertempel pada kita. Untuk aku, setiap bangun tidur, aku selalu langsung membuka ponselku. Pertama-tama tentu melihat pukul berapa dan tanggal berapa hari ini. Kemudian melihat ada kabar apa hari ini, lelu terdistraksi oleh sosial media, dan akan tenggelam di dalamnya selama beberapa waktu sebelum aku benar-benar beranjak dari kasur. Bukannya membuang pikiran dan membuatku menjadi lebih rileks, namun justru menambah beban pikiran hahaha.

Lalu apakah aku akan terus memulai pagiku dengan buruk seperti ini?

Ah, tentu tidak.

Mungkin secarik kertas dan bolpoin tidak cukup menarik bagiku. Bagaimana jika aku mulai menulis di blog ini setiap pagi. Ya, aku bisa menghubungkan kebiasaanku membuka ponsel setiap pagi untuk melihat waktu dan kotak pesan, lalu daripada membuka sosial media, aku harus mengubahnya dengan membuka blog ini dan menulis apapun yang ingin aku tulis.

Kedengarannya bagus. Menurut buku 'Atomic Habits', jika sulit mengubah kebiasaan atau menambahkan kebiasaan baru, coba gabungkan (stack) kebiasaan lama yang sudah melekat padamu dengan kebiasaan baru yang ingin kamu jalani.

Aku suka ini, semoga berhasil hahahaha.

Sabtu, 06 Januari 2024

Keberhasilan kecil? Jangan Becanda, Kau Butuh yang Lebih Besar

 Tiba-tiba sudah tanggal 6 Januari dan aku belum memulai apa-apa. Apakah aku akan gagal lagi tahun ini? Oh, Tuhan tolong jangan. Aku akan berusaha keras, sungguh. Sungguh. SUNGGUH.

Oke aku akan memasukkan daftar hal-hal yang berhasil aku lalukan sampai hari ini, meski kecil:

1. 2 hari ini aku berhasil bangun pagi tanpa kembali tidur lagi. Aku juga berhasil mandi di pagi hari.

2. Aku berhasil menulis blog di sini secara rutin. 1 hari 1 tulisan. 

3. Sebentar lagi planner yang aku buat akan selesai. Hanya butuh 3 templat lagi dan menambahkan hyperlink.

4. Aku berhasil rutin melakukan olahraga mengikuti Chloe Ting di Youtube. Meskipun aku masih kesulitan mengikutinya, setidaknya aku berusaha. Lama-kelamaan badanku akan beradaptasi bukan?


Menarik ternyata aku sudah memiliki 4 keberhasilan di awal Januari ini haha. Apakah aku masih berpikir diriku akan gagal lagi? Ah, aku terlaku fokus pada kegagalan saja padahal seharusnya kita merayakan keberhasilan kecil ini. 

Oh, tidak, jangan dulu. Kita merayakannya nanti saat benar-benar berhasil. Jangan memanjakan diri. Memang keberhasilan itu berarti sekecil apapun kita harus bersyukur. Tapi jangan memanjakan diri dengan hal-hal itu, tetap saja aku belum berhasil mencapai target yang besar, kan? Aku harus lebih memaksa dan menekan diriku sendiri hahahahahaha.

Jumat, 05 Januari 2024

Aku Hanya Ingin Kita Saling Mengerti

“Nanti Mbak bisa tinggal di rumah baru. Pemandangannya bagus di sana, bisa lihat sunrise sama sunset. Tenang dan sepi, bisa dapat banyak inspirasi, kan,” kata Ayah.

“Kan, tidak semua orang suka hal itu,” kataku.

“Lho, itu sunset, loh!”

“Iya, nggak melulu apa yang Ayah anggap bagus, orang lain juga menganggapnya begitu.”

Apa yang Ayah katakan membuatku merasa dia sungguh tidak benar-benar mengenalku.

Beberapa bulan lalu, Ayah membeli rumah di perumahan yang bertempat cukup jauh dari kota. Bukan, bukan cukup jauh, sangat jauh bahkan. Perumahan tersebut berada di dataran tinggi, jadi memang benar pemandangannya bagus, aku bisa melihat sedikit pemandangan kota dari atas sana. Bisa kubilang, perumahan tersebut cukup elit. Rumah-rumah di sana terlihat sangat mewah. Mungkin karena itu, susana di sana cukup hening dan sepi. Bukankah lingkungan orang-orang kaya memang begitu?

Ayah berfikir aku akan menyukainya. Namun, tidak.

Orang yang benar-benar mengenalku dengan baik pasti tahu bahwa aku tidak menyukai tempat-tempat sepi yang jauh dari pusat kota. Ketenangan yang bagi sebagian orang sungguh menyenangkan, bagiku tidak. Jika aku diberi pilihan, aku lebih suka tinggal di pusat kota, dengan suara kendaraan yang berlalu lalang dan suara manusia-manusia yang sibuk menjalani aktivitas mereka masing-masing. Hingar bingar dan berisiknya kota sungguh hal yang membuatku tenang.

Aku beberapa kali pergi ke sebuah hotel di Surabaya untuk menjernihkan pikiran. Aku selalu memilih kamar yang berada di lantai tertinggi. Hotel tersebut berada di tengah kota, dengan jendela besar, salah satu hal yang kusukai. Pemandangan di balik jendela tersebut adalah jalan raya besar Surabaya, gedung-gedung tinggi, juga sebuah sungai. Pemandangan sempurna yang selalu aku idam-idamkan selama ini. Karena berada di pusat kota, bermalam di hotel ini tidak benar-benar sunyi. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan dan hiruk pikuk kota. Ini yang sebenarnya aku inginkan. Jika bisa, aku ingin tinggal di tempat yang seperti ini.

Aku tidak mengerti. Apakah semua Ayah atau orang tua memang begini? Apakah mereka tidak pernah ingin tahu apa yang anaknya fikirkan? Apakah mereka selalu berfikir apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak? Tanpa mendengarkan pendapat anaknya terlebih dahulu? Terdengar sangat egois. Namun, sungguh hal seperti ini pasti bukan hanya aku yang mengalami, kan?

Ini mengingatkanku pada film The Mitchells and the Machines. Dalam film tersebut, Katie, remaja perempuan yang akan pergi merantau untuk kuliah perfilman, tidak pernah merasa cocok dengan Ayahnya. Pasalnya, Ayahnya memang mempunyai prinsip, pemikiran, dan cara hidup yang jauh berbeda dengan Katie. Meskipun sang Ayah selalu berusaha membuat Katie senang, tapi dia tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan justru menyusahkan Katie. Ayahnya hanya melakukan hal-hal yang ‘menurutnya’ akan membuat Katie senang tanpa pernah mendengarkan atau memahami apakah Katie benar-benar senang, atau justru kesulitan.

Film tersebut hanyalah film dengan animasi yang sangat sempurna, yang bisa kutonton berkali-kali untuk mempelajari visual yang lucu dan penuh warna itu. Tapi aku merasa relate dengan jalan cerita tersebut. Kadang aku pun berfikir apakah ini hanya aku yang tidak berusaha memahami Ayah? Bahwa dia juga sedang berusaha melakukan yang terbaik untukku? Mungkin juga. Mungkin memang aku yang egois, aku yang terlanjur skeptis dengan apapun yang dia lakukan sejak dulu. Mungkin aku hanya perlu membuka hatiku lebih luas lagi dan menurunkan egoku.

Entahlah, semakin dewasa rasanya aku semakin jauh dengan Ayah.

Kamis, 04 Januari 2024

Apa, sih, Kecoa Ini?!

 Aku menulis ini sambil diam di kamar dan entah sampai kapan aku akan diam di sini. Masalahnya, ada kecoa di lantai bawah. Aku benci kecoa. Tidak, aku takut kecoa. Biasanya Mama akan menangkap dan membunuhnya dalam sekali pukul. Tapi sepertinya kali ini dia gagal. Sebelum aku lari mengurung diri di kamarku di lantai 2, kulihat kecoa itu besar dan terbang. Jadi, yah, Mama masih gagal dan aku memilih bertahan di kamarku.

Hal yang ada di pikiranku sekarang adalah masalah paling utama. Bukan, bukan kecoa. Melainkan ketakutanku. Kenapa aku takut? Kenapa aku takut akan banyak hal? Saat aku menulis ini, aku terus berfikir apakah aku akan turun menghadapinya, atau aku akan terus terkurung ketakutanku sendiri?

Ya, Tuhan, sepertinya aku sudah melewatkan banyak sekali kesempatan hanya karena selimut takut yang menutupi seluruh diriku. Aku sudah sekitar 2 jam berada di kamar ini, menunggu Mama berhasil membunuh kecoa itu. Tapi bayangkan jika aku tidak takut, mungkin aku bisa menghabiskan waktu menggambar sambil menonton film bersama Mama di bawah. Ah, aku meninggalkan iPad dan laptopku di bawah. Untung aku masih membawa ponselku.

Ah, sungguh, ini menyebalkan.