Selasa, 02 Januari 2024

Seporsi Kimchi dan Teman pada Porsinya

Kalau ditanya bagaimana arti pertemanan, sebenarnya aku bingung. Aku tidak pernah benar-benar punya teman yang bagi sebagian orang bisa disebet real bestie forever. Aku juga tidak pernah merasakan berada dalam suatu kelompok atau ‘geng’ yang melakukan segalanya bersama.

Hari ini aku menikmati kimchi kesukaanku, sambil membicarakan perihal ‘teman’ dengan pacar.

Pengalaman kita berdua dalam memandang pertemanan jauh berbeda. Dia bercerita bagaimana dia adalah orang yang posesif dalam hal pertemanan. Dia selalu ingin berada di suatu lingkar pertemanan dan tidak ingin ditinggalkan. Ketika teman yang dia anggap spesial pun menolak ajakan darinya atau memiliki teman lain, dia cenderung merasa kecil, merasa tertinggal. Dia bisa melakukan segala hal, seperti mengubah dirinya sendiri, demi diterima dalam lingkar pertemanan tersebut. 

Aneh, pikirku.

Sementara untukku teman, ya…. teman. Tidak perlu selalu hadir, tidak perlu selalu mengirim pesan, tidak juga perlu selalu menemani, tidak harus siap saat kita butuh. Tidak itu semua tidak perlu. Yah, cukup aku kenal kamu, kamu kenal aku, kita beberapa kali bercengkrama, entah itu masalah pribadi atau hal remeh seperti lagu apa yang kamu dengar.

Pacarku selalu memikirkan pandangan orang terhadapnya. Itu membuatnya selalu ingin tampil menjadi yang terbaik di hadapan semua orang. Bahkan dia bisa menampilkan versi dirinya yang sungguh berbeda pada setiap orang. Dia selalu takut mengecewakan setiap orang, setiap teman yang dia miliki.

Aneh, pikirku lagi. Bukankah itu akan menyusahkan diri sendiri yang berujung kekecewaan pada diri sendiri?

Di sisi lain, aku tidak mengambil pusing apa yang orang lain pikirkan tentangku. Setiap orang boleh pergi dariku jika memang itu membuat mereka nyaman, dan aku tidak akan merasa marah atau menyalahkanmu. Toh memang tidak nyaman, lalu kenapa harus dibuat sulit? Aku pun juga demikian, jika aku merasa tidak nyaman dalam sebuah kelompok, aku akan menjauh tanpa perlu menuntut orang lain atau kelompok tersebut untuk mengikuti egoku. Hal ini bukan berarti aku membenci orang-orang yang tidak nyaman padaku maupun orang-orang yang membuatku tidak nyaman. Biasa saja, tidak ada perasaan sebal, marah, atau lainnya yang berlebihan. Menjauh yang kumaksud bukannya memutus total hubungan. Aku masih menganggap mereka semua teman. Toh, aku masih akan datang jika mereka yang membuatku tidak nyaman mengundangku dalam sebuah acara. Begitu juga sebaliknya. Hanya saja tepatnya mengurangi frekuensiku berinteraksi dengan mereka yang membuatku tidak nyaman.

Aku ingat seorang teman pernah bertanya padaku, “Menurutmu aku apa?”

“Teman” jawabku.

“Iya pasti, tapi teman yang apa?” tanyanya lagi.

“Ya, teman. Apalagi? Memang harus dibeda-bedakan?”

“Tidak. Tapi pasti kamu punya daftar teman prioritas, kuga teman biasa. Tidak mungkin kamu anggap semua sama, kan? Apakah kamu secara acak memilih teman yang ada di kontakmu untuk menemanimu makan ramen? Tidak, kan?” jelasnya.

Apa yang dia katakan memang benar. Aku punya sekitar 5 orang yang menempati daftar utama: pacarku dan 4 orang teman. 

Kelima orang tersebut memiliki porsi yang berbeda. Ketika aku lelah dan ingin mencurahkan segala apa yang kualami, tentu saja aku akan menghubungi pacarku. Aku tidak suka menceritakan masalahku pada orang lain selain pacarku. Apalagi menuliskannya di sosial media. Ketika aku ingin pergi ke cafe untuk bekerja, aku tahu harus menghubungi siapa. Ketika aku ingin pergi ke luar negeri, aku tahu siapa yang akan bersedia menemaniku. Ketika aku ingin berbelanja, aku tahu harus mengajak siapa. Ketika aku ingin membuat sebuah karya kolaborasi, aku tahu harus pada siapa aku menuangkan ideku. Memang benar, semua orang punya porsi. Aku tidak mungkin mengajak si A pergi ke luar negeri karena aku tahu itu akan menyulitkannya. Begitu pula dengan si B, aku tidak mungkin mengajaknya pergi ke cafe untuk bekerja karena dia punya pekerjaan tetap di kantornya.

Tapi apakah kemudian nilai mereka berbeda di mataku? Tidak. Mereka tetap sama, mereka tetap temanku. Dan lagi, kenapa dibuat pusing? Kita kan bukan lagi anak sekolah dasar yang harus bersama sahabat selama di kelas, selama di kantin, sampai pulang sekolah. Bukankah pertemanan di umur yang sudah dewasa memang seperti ini? Bukankah ini juga artinya aku menghargai apa yang bisa atau tidak bisa teman-temanku lakukan untukku? Aku tidak memaksakan mereka harus 100% untukku, kan?

Mungkin ini hanya pandanganku. Mungkin kamu dan orang lain pun memiliki pandangan yang berbeda terhadap pertemanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar