Jumat, 05 Januari 2024

Aku Hanya Ingin Kita Saling Mengerti

“Nanti Mbak bisa tinggal di rumah baru. Pemandangannya bagus di sana, bisa lihat sunrise sama sunset. Tenang dan sepi, bisa dapat banyak inspirasi, kan,” kata Ayah.

“Kan, tidak semua orang suka hal itu,” kataku.

“Lho, itu sunset, loh!”

“Iya, nggak melulu apa yang Ayah anggap bagus, orang lain juga menganggapnya begitu.”

Apa yang Ayah katakan membuatku merasa dia sungguh tidak benar-benar mengenalku.

Beberapa bulan lalu, Ayah membeli rumah di perumahan yang bertempat cukup jauh dari kota. Bukan, bukan cukup jauh, sangat jauh bahkan. Perumahan tersebut berada di dataran tinggi, jadi memang benar pemandangannya bagus, aku bisa melihat sedikit pemandangan kota dari atas sana. Bisa kubilang, perumahan tersebut cukup elit. Rumah-rumah di sana terlihat sangat mewah. Mungkin karena itu, susana di sana cukup hening dan sepi. Bukankah lingkungan orang-orang kaya memang begitu?

Ayah berfikir aku akan menyukainya. Namun, tidak.

Orang yang benar-benar mengenalku dengan baik pasti tahu bahwa aku tidak menyukai tempat-tempat sepi yang jauh dari pusat kota. Ketenangan yang bagi sebagian orang sungguh menyenangkan, bagiku tidak. Jika aku diberi pilihan, aku lebih suka tinggal di pusat kota, dengan suara kendaraan yang berlalu lalang dan suara manusia-manusia yang sibuk menjalani aktivitas mereka masing-masing. Hingar bingar dan berisiknya kota sungguh hal yang membuatku tenang.

Aku beberapa kali pergi ke sebuah hotel di Surabaya untuk menjernihkan pikiran. Aku selalu memilih kamar yang berada di lantai tertinggi. Hotel tersebut berada di tengah kota, dengan jendela besar, salah satu hal yang kusukai. Pemandangan di balik jendela tersebut adalah jalan raya besar Surabaya, gedung-gedung tinggi, juga sebuah sungai. Pemandangan sempurna yang selalu aku idam-idamkan selama ini. Karena berada di pusat kota, bermalam di hotel ini tidak benar-benar sunyi. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan dan hiruk pikuk kota. Ini yang sebenarnya aku inginkan. Jika bisa, aku ingin tinggal di tempat yang seperti ini.

Aku tidak mengerti. Apakah semua Ayah atau orang tua memang begini? Apakah mereka tidak pernah ingin tahu apa yang anaknya fikirkan? Apakah mereka selalu berfikir apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak? Tanpa mendengarkan pendapat anaknya terlebih dahulu? Terdengar sangat egois. Namun, sungguh hal seperti ini pasti bukan hanya aku yang mengalami, kan?

Ini mengingatkanku pada film The Mitchells and the Machines. Dalam film tersebut, Katie, remaja perempuan yang akan pergi merantau untuk kuliah perfilman, tidak pernah merasa cocok dengan Ayahnya. Pasalnya, Ayahnya memang mempunyai prinsip, pemikiran, dan cara hidup yang jauh berbeda dengan Katie. Meskipun sang Ayah selalu berusaha membuat Katie senang, tapi dia tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan justru menyusahkan Katie. Ayahnya hanya melakukan hal-hal yang ‘menurutnya’ akan membuat Katie senang tanpa pernah mendengarkan atau memahami apakah Katie benar-benar senang, atau justru kesulitan.

Film tersebut hanyalah film dengan animasi yang sangat sempurna, yang bisa kutonton berkali-kali untuk mempelajari visual yang lucu dan penuh warna itu. Tapi aku merasa relate dengan jalan cerita tersebut. Kadang aku pun berfikir apakah ini hanya aku yang tidak berusaha memahami Ayah? Bahwa dia juga sedang berusaha melakukan yang terbaik untukku? Mungkin juga. Mungkin memang aku yang egois, aku yang terlanjur skeptis dengan apapun yang dia lakukan sejak dulu. Mungkin aku hanya perlu membuka hatiku lebih luas lagi dan menurunkan egoku.

Entahlah, semakin dewasa rasanya aku semakin jauh dengan Ayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar