Rabu, 10 Januari 2024

Kurasa Aku Merindukan Matahari

Cuaca sungguh dingin di luar, langit juga mendung kelabu. Sungguh tidak menyenangkan. Rasanya seperti langit sedang mengajakmu bersedih dengannya, padahal kau sedang ingin merasakan semangat.

Dengan cuaca seperti ini, aku sungguh malas untuk pergi keluar. Aku tidak menyukai dingin, aku akan mulai pusing dan batuk-batuk ketika suhu terlalu dingin untukku. Karena itu, aku memutuskan untuk tinggal di rumah saja hari ini. Aku akan menyelesaikan templat jurnal yang sedang aku buat.

Ah, bahkan untuk menulis ini pun aku tidak terlalu bersemangat. Sepertinya aku terlahir dari negara api, mungkin saja aku adik Zuko, Bagaimana bisa dengan awan yang menutup matahari, energiku terasa seperti tertutup juga. Hahahaha. Ah, sudahlah, hari ini aku menulis pendek saja.

Selasa, 09 Januari 2024

11 Hari Menuju Konser

11 hari lagi sebelum konser The Rose di Jakarta. Tentu saja aku mulai menyiapkan segalanya. Seperti gadis (atau laki-laki) lain yang akan bertemu idolanya, aku pun heboh dan bersemangat memikirkan baju apa yang akan aku pakai nanti. Aku tau, personil dari The Rose tidak akan memperhatikanku yang memakai baju tercantik di seluruh dunia, hanya saja aku ingin tampil cantik untuk acara-acara yang ingin aku kenang terus sampai tua nanti.

Hari ini aku mulai mencoba memadumadankan pakaian yang aku punya. Aku sudah punya ide besar, gaya apa yang akan aku pakai nantinya. Aku juga sudah mengubah celana Mama yang sudah tidak dia pakai, memotongnya menjadi pendek, dan mengecilkan bagian perutnya (Ah, ya perutku sangat kecil dan sangat susah mencari celana yang pas untukku). Aku juga meminjam kaos hitam milik pacarku.

"Pokoknya aku tidak ingin beli-beli lagi. Aku mau pakai apa yang ada saja," begitu kataku. Aku sudah 2 kali datang ke konser idolaku. Memang aku akan membeli baju baru dan tampil berbeda di setiap konser. Namun, kali ini aku hanya ingin memakai apapun yang aku punya. Karena selain masalah linkungan dan hidup minimalis seperti yang aku inginkan, aku juga sudah punya banyak pakaian, hanya perlu kemampuan padu-padan pakaian. Kurasa aku juga ahli dalam hal itu.

"Bagus sekali, aku terlihat sangat cantik," kataku memandangi diriku di cermin dengan turtleneck merah tua dan kaos hitam, celana pendek, serta kaos kaki panjang.

"Kurasa ada yang kurang, pakaian ini kurang sedikit menunjukkan diriku. Aku yang berisik, energik, berani, dan beda," pikirku.

Aku mencoba menambahkan beberapa aksesoris seperti kalung dan cincin. Lalu aku berencana membeli pita merah dan hitam, dan menempelkannya dengan peniti di celana. Wow, aku sungguh naik level dalam hal berpakaian, dan aku suka itu.

Kemudian aku ingat masih banyak hal lain yang harus aku siapkan untuk konser. Anggaran makan, jadwal dan daftar harian, serta beberapa hal lain. Ini masih 11 hari sebelum konser itu dimulai, namun aku sudah sibuk menyiapkan segalanya. Mungkin orang-orang akan berpikir aku berlebihan, tapi inilah aku. Seperti yang sudah kutulis pada tulisan pertamaku di blog ini, aku harus merencanakan segalanya sedetail mungkin, dan aku tidak dapat hidup tanpa rencana yang matang.

Senin, 08 Januari 2024

Balada Kecerdasan Buatan

Dunia maya sedang dihebohkan oleh kecerdasan buatan yang semakin lama kian berkembang. Beberapa orang senang dengan kehadirannya karena memudahkan segala pekerjaan, dan hemat tentu saja. Yang lain tidak mendukung adanya kecerdasan buatan ini karena mengancam pekerjaan mereka.

Aku tentu saja si-yang-pekerjaannya-terancam atas munculnya kecerdasan buatan. Ya, aku si seniman yang orang bilang bisa dengan mudah digantikan oleh robot dengan kecerdasan buatan.

Namun, aku tidak takut. Kalaupun suatu hari nanti ada peperangan antara manusia dan robot, seperti dalam film 'Mitchells and the Machines', kurasa manusia akan tetap menang.

Aku telah memperhatikan berbagai karya visual yang dibuat oleh kecerdasan buatan. Yah, proses pembuatannya cukup mudah, kau hanya perlu menuliskan lukisan yang seperti apa yang ingin kamu dapatkan, objek apa, latar belakang bagaimana, karakteristik objek, lalu tunggu sampai robot itu bekerja dan menghasilkan sebuah karya untukmu. 

Hanya saja, setelah aku menemukan puluhan (tidak, ratusan) gambar yang dibuat oleh robot kecerdasan buatan ini, aku merasa bosan. Robot itu menghasilkan pola yang sama, dan seluruh karya dari kecerdasan buatan seperti tak bernyawa. Yah, tidak bisa kupungkiri bahwa hasilnya bagus dan detail (meski masih banyak kesalahan di sana-sini), pewarnaan yang bagus, gambar seperti seorang seniman yang telah berlatih puluhan tahun, Namun, terasa dingin dan tak bernyawa. Aku tidak pernah menemukan sebuah perasaan hangat, atau perasaan-perasaan lain dari gambar yang dihasilkan robot.

Bukankah seharusnya itu esensi dari sebuah karya seni? Kita bisa merasakan apa yang sebenarnya dirasakan dan ingin disampaikan oleh sang seniman, hanya dengan melihat karya asli hasil dari kedua tangannya  (dan hati serta pikiran sang seniman). Seringkali aku pergi ke galeri atau museum seni, memperhatikan lukisan-lukisan, patung, atau karya seni dengan media lainnya, yang dibuat langsung oleh manusia, dan merasakan sesuatu yang mungkin saja belum pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan yang datang dari setiap karya seni di galeri yang aku kunjungi. Terkadang aku merasakan marah setelah melihat sebuah lukisan, terkadang aku merasakan ada yang memelukku, perasaan aman dan nyaman, pada sebuah karya seni patung, kadang juga aku bisa menangis di depan sebuah karya yang membuatku merasakan sakit dan penderitaan. Aku sungguh menyukai pengalaman ini, pengalaman yang hanya bisa kau dapatkan pada karya yang dibuat asli oleh tangan manusia, dibubuhi cerita dan pengalaman dari si pencipta karya. Sungguh, rasanya menyenangkan, seperti menjadi bagian dari sang seniman.

Pengalaman dan perasaan unik itu lah yang tidak pernah aku dapatkan dari karya-karya yang dihasilkan oleh robot. Pasalnya hasil dengan bentuk, warna, dan detail yang ciamik, bukan berarti bagus dan cocok untuk penonton. Dalam sebuah karya pun ada cerita, komposisi dan mood, dan itulah yang menggiring penonton untuk ikut masuk ke dunia sang pencipta karya.

Tetap saja, apakah nanti akan ada peperangan robot kecerdasan buatan dengan manusia?

Minggu, 07 Januari 2024

Menulis Pagi Hari

 Aku pernah dengar istilah brain dump dari media sosial. Secara bahasa itu berarti sampah pikiran, pun dijelaskan dalam sebuah konten di sosial media, bahwa menuliskan apapun yang kita pikirkan pada secarik kertas. Apapun. Sungguh, apapun.

Kurasa isi pikiran manusia itu sungguh carut-marut. Mungkin sekarang aku memikirkan tentang tikus, detik selanjutnya aku bisa tiba-tiba saja memikirkan bagaimana cara menghidupkan kembali dinosaurus, atau kue panekuk dengan selai bluberi.

Karena itu beberapa orang mempercayai dengan menuliskan apapun yang kamu pikirkan, baik beraturan ataupun hal acak yang sedang terlintas di pikiranmu, akan membuatmu lebih tenang. Beberapa bilang metode ini juga termasuk efektif untuk mengenal diri sendiri.

Sejujurnya aku belum pernah mendengarnya. Ya, aku memang suka menulis jurnal dan apapun yang aku pikirkan atau aku alami, tapi biasanya aku punya tema. Aku punya 1 pokok pikiran yang akan aku tulis. Namun, brain dump itu berbeda. Metode ini benar-benar tanpa tema atau gagasan utama, kau hanya harus menggerakkan tanganmu di atas kertas, menuliskan setiap kata atau benda, atau apapun yang terlintas di pikiranmu. Bahkan tidak ada waktu berpikir seperti "aku menulis apa, ya?", yah, biarkanlah mengalir begitu saja.

Rasanya terdengar seperti meditasi.

Sungguh, aku tertarik mencobanya. Kau hanya perlu meletakkan secarik kertas dan pensil atau bolpoin di sebelah tempat tidurmu. Setiap kau bangun tidur, sebelum beranjak dan melakukan aktivitas lainnya, tulislah dulu apapun itu.

Masalahnya memulai kebiasaan ini cukup sulit, meski terlihat mudah. Membangun kebiasaan baru memang butuh waktu, apalagi jika kita punya satu kebiasaan kuat yang sudah tertempel pada kita. Untuk aku, setiap bangun tidur, aku selalu langsung membuka ponselku. Pertama-tama tentu melihat pukul berapa dan tanggal berapa hari ini. Kemudian melihat ada kabar apa hari ini, lelu terdistraksi oleh sosial media, dan akan tenggelam di dalamnya selama beberapa waktu sebelum aku benar-benar beranjak dari kasur. Bukannya membuang pikiran dan membuatku menjadi lebih rileks, namun justru menambah beban pikiran hahaha.

Lalu apakah aku akan terus memulai pagiku dengan buruk seperti ini?

Ah, tentu tidak.

Mungkin secarik kertas dan bolpoin tidak cukup menarik bagiku. Bagaimana jika aku mulai menulis di blog ini setiap pagi. Ya, aku bisa menghubungkan kebiasaanku membuka ponsel setiap pagi untuk melihat waktu dan kotak pesan, lalu daripada membuka sosial media, aku harus mengubahnya dengan membuka blog ini dan menulis apapun yang ingin aku tulis.

Kedengarannya bagus. Menurut buku 'Atomic Habits', jika sulit mengubah kebiasaan atau menambahkan kebiasaan baru, coba gabungkan (stack) kebiasaan lama yang sudah melekat padamu dengan kebiasaan baru yang ingin kamu jalani.

Aku suka ini, semoga berhasil hahahaha.

Sabtu, 06 Januari 2024

Keberhasilan kecil? Jangan Becanda, Kau Butuh yang Lebih Besar

 Tiba-tiba sudah tanggal 6 Januari dan aku belum memulai apa-apa. Apakah aku akan gagal lagi tahun ini? Oh, Tuhan tolong jangan. Aku akan berusaha keras, sungguh. Sungguh. SUNGGUH.

Oke aku akan memasukkan daftar hal-hal yang berhasil aku lalukan sampai hari ini, meski kecil:

1. 2 hari ini aku berhasil bangun pagi tanpa kembali tidur lagi. Aku juga berhasil mandi di pagi hari.

2. Aku berhasil menulis blog di sini secara rutin. 1 hari 1 tulisan. 

3. Sebentar lagi planner yang aku buat akan selesai. Hanya butuh 3 templat lagi dan menambahkan hyperlink.

4. Aku berhasil rutin melakukan olahraga mengikuti Chloe Ting di Youtube. Meskipun aku masih kesulitan mengikutinya, setidaknya aku berusaha. Lama-kelamaan badanku akan beradaptasi bukan?


Menarik ternyata aku sudah memiliki 4 keberhasilan di awal Januari ini haha. Apakah aku masih berpikir diriku akan gagal lagi? Ah, aku terlaku fokus pada kegagalan saja padahal seharusnya kita merayakan keberhasilan kecil ini. 

Oh, tidak, jangan dulu. Kita merayakannya nanti saat benar-benar berhasil. Jangan memanjakan diri. Memang keberhasilan itu berarti sekecil apapun kita harus bersyukur. Tapi jangan memanjakan diri dengan hal-hal itu, tetap saja aku belum berhasil mencapai target yang besar, kan? Aku harus lebih memaksa dan menekan diriku sendiri hahahahahaha.

Jumat, 05 Januari 2024

Aku Hanya Ingin Kita Saling Mengerti

“Nanti Mbak bisa tinggal di rumah baru. Pemandangannya bagus di sana, bisa lihat sunrise sama sunset. Tenang dan sepi, bisa dapat banyak inspirasi, kan,” kata Ayah.

“Kan, tidak semua orang suka hal itu,” kataku.

“Lho, itu sunset, loh!”

“Iya, nggak melulu apa yang Ayah anggap bagus, orang lain juga menganggapnya begitu.”

Apa yang Ayah katakan membuatku merasa dia sungguh tidak benar-benar mengenalku.

Beberapa bulan lalu, Ayah membeli rumah di perumahan yang bertempat cukup jauh dari kota. Bukan, bukan cukup jauh, sangat jauh bahkan. Perumahan tersebut berada di dataran tinggi, jadi memang benar pemandangannya bagus, aku bisa melihat sedikit pemandangan kota dari atas sana. Bisa kubilang, perumahan tersebut cukup elit. Rumah-rumah di sana terlihat sangat mewah. Mungkin karena itu, susana di sana cukup hening dan sepi. Bukankah lingkungan orang-orang kaya memang begitu?

Ayah berfikir aku akan menyukainya. Namun, tidak.

Orang yang benar-benar mengenalku dengan baik pasti tahu bahwa aku tidak menyukai tempat-tempat sepi yang jauh dari pusat kota. Ketenangan yang bagi sebagian orang sungguh menyenangkan, bagiku tidak. Jika aku diberi pilihan, aku lebih suka tinggal di pusat kota, dengan suara kendaraan yang berlalu lalang dan suara manusia-manusia yang sibuk menjalani aktivitas mereka masing-masing. Hingar bingar dan berisiknya kota sungguh hal yang membuatku tenang.

Aku beberapa kali pergi ke sebuah hotel di Surabaya untuk menjernihkan pikiran. Aku selalu memilih kamar yang berada di lantai tertinggi. Hotel tersebut berada di tengah kota, dengan jendela besar, salah satu hal yang kusukai. Pemandangan di balik jendela tersebut adalah jalan raya besar Surabaya, gedung-gedung tinggi, juga sebuah sungai. Pemandangan sempurna yang selalu aku idam-idamkan selama ini. Karena berada di pusat kota, bermalam di hotel ini tidak benar-benar sunyi. Sayup-sayup terdengar suara kendaraan dan hiruk pikuk kota. Ini yang sebenarnya aku inginkan. Jika bisa, aku ingin tinggal di tempat yang seperti ini.

Aku tidak mengerti. Apakah semua Ayah atau orang tua memang begini? Apakah mereka tidak pernah ingin tahu apa yang anaknya fikirkan? Apakah mereka selalu berfikir apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak? Tanpa mendengarkan pendapat anaknya terlebih dahulu? Terdengar sangat egois. Namun, sungguh hal seperti ini pasti bukan hanya aku yang mengalami, kan?

Ini mengingatkanku pada film The Mitchells and the Machines. Dalam film tersebut, Katie, remaja perempuan yang akan pergi merantau untuk kuliah perfilman, tidak pernah merasa cocok dengan Ayahnya. Pasalnya, Ayahnya memang mempunyai prinsip, pemikiran, dan cara hidup yang jauh berbeda dengan Katie. Meskipun sang Ayah selalu berusaha membuat Katie senang, tapi dia tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan justru menyusahkan Katie. Ayahnya hanya melakukan hal-hal yang ‘menurutnya’ akan membuat Katie senang tanpa pernah mendengarkan atau memahami apakah Katie benar-benar senang, atau justru kesulitan.

Film tersebut hanyalah film dengan animasi yang sangat sempurna, yang bisa kutonton berkali-kali untuk mempelajari visual yang lucu dan penuh warna itu. Tapi aku merasa relate dengan jalan cerita tersebut. Kadang aku pun berfikir apakah ini hanya aku yang tidak berusaha memahami Ayah? Bahwa dia juga sedang berusaha melakukan yang terbaik untukku? Mungkin juga. Mungkin memang aku yang egois, aku yang terlanjur skeptis dengan apapun yang dia lakukan sejak dulu. Mungkin aku hanya perlu membuka hatiku lebih luas lagi dan menurunkan egoku.

Entahlah, semakin dewasa rasanya aku semakin jauh dengan Ayah.

Kamis, 04 Januari 2024

Apa, sih, Kecoa Ini?!

 Aku menulis ini sambil diam di kamar dan entah sampai kapan aku akan diam di sini. Masalahnya, ada kecoa di lantai bawah. Aku benci kecoa. Tidak, aku takut kecoa. Biasanya Mama akan menangkap dan membunuhnya dalam sekali pukul. Tapi sepertinya kali ini dia gagal. Sebelum aku lari mengurung diri di kamarku di lantai 2, kulihat kecoa itu besar dan terbang. Jadi, yah, Mama masih gagal dan aku memilih bertahan di kamarku.

Hal yang ada di pikiranku sekarang adalah masalah paling utama. Bukan, bukan kecoa. Melainkan ketakutanku. Kenapa aku takut? Kenapa aku takut akan banyak hal? Saat aku menulis ini, aku terus berfikir apakah aku akan turun menghadapinya, atau aku akan terus terkurung ketakutanku sendiri?

Ya, Tuhan, sepertinya aku sudah melewatkan banyak sekali kesempatan hanya karena selimut takut yang menutupi seluruh diriku. Aku sudah sekitar 2 jam berada di kamar ini, menunggu Mama berhasil membunuh kecoa itu. Tapi bayangkan jika aku tidak takut, mungkin aku bisa menghabiskan waktu menggambar sambil menonton film bersama Mama di bawah. Ah, aku meninggalkan iPad dan laptopku di bawah. Untung aku masih membawa ponselku.

Ah, sungguh, ini menyebalkan.


Rabu, 03 Januari 2024

Badai Berujung Pertarungan

Tadi siang tiba-tiba hujan sangat deras, bisa dibilang badai. Padahal aku ada agenda shooting untuk keperluan media sosial. Aku berencana mengambil video di rumah pacar, taman di depan rumahnya sangat cantik dan cocok untuk menjadi latar video tanpa harus susah payah menata properti. 

Hanya saja, aku bangun kesiangan. Itu masalahnya.

Hari sebelumnya, aku berkata pada pacarku bahwa aku akan datang pagi. Selesai pengambilan video, aku dan dia berencana pergi ke cafe terdekat untuk menyelesaikan pekerjaan. Yah, kami memang sering bekerja dari cafe. Pekerjaan kami tidak membutuhkan kami untuk hadir di kantor. Sebuah privilege, kata sebagian orang.

Apa daya, ternyata aku baru bangun pukul 11 siang. Bodohnya lagi, aku tidak langsung mandi dan bersiap-siap untuk pengambilan video, namun tenggelam dalam media sosial kurang lebih selama 20 menit. Ketika aku sudah memiliki cukup niat untuk beranjak dan mandi, hujan tiba-tiba datang. Sangat deras.

“Badai hebat di sini. Seram dan gelap. Anginnya kencang.” aku mengirim pesan pada pacarku. Memberinya kabar bahwa aku akan telat datang karena hujan, meskipun pada akhirnya aku batalkan pengambilan video untuk hari ini.

Sebagai gantinya, saat hujan sudah mereda, aku langsung pergi menuju cafe tujuan kami. Sudahlah, tidak ada gunanya juga mengambil video hari ini. Cahayanya minim karena mendung. Itu akan mempengaruhi kualitas video, dan aku tidak suka itu.

Namun, hal yang sebenarnya paling tidak aku suka adalah kenyataan bahwa aku masih gagal memperbaiki diriku. Ini sudah tanggal 3 Januari dan aku masih bangun kesiangan, masih menelusuri sosial media selama puluhan menit, masih belum bisa komitmen dengan diri sendiri. Sungguh memalukan.

Biasanya aku akan menulis kata-kata penyemangat untuk diriku, seperti “Ayo kamu pasti bisa!” atau “Besok harus lebih baik lagi!”. Tapi kurasa kali ini aku hanya merasa harus memaki diriku. Harus lebih kejam pada diriku sendiri. Karena bukankah ini pertarungan antara aku dan diriku? Jika aku terus menerus memanjakan diriku dengan menganggap ketidakmampuanku mengendalikan diri adalah hal yang biasa dan memaafkannya, aku tidak akan pernah mencapai apapun yang ingin aku capai. 

Kurasa begitu. Menyedihkan.

Sekali lagi, aku harus melawan diriku. 

Selasa, 02 Januari 2024

Seporsi Kimchi dan Teman pada Porsinya

Kalau ditanya bagaimana arti pertemanan, sebenarnya aku bingung. Aku tidak pernah benar-benar punya teman yang bagi sebagian orang bisa disebet real bestie forever. Aku juga tidak pernah merasakan berada dalam suatu kelompok atau ‘geng’ yang melakukan segalanya bersama.

Hari ini aku menikmati kimchi kesukaanku, sambil membicarakan perihal ‘teman’ dengan pacar.

Pengalaman kita berdua dalam memandang pertemanan jauh berbeda. Dia bercerita bagaimana dia adalah orang yang posesif dalam hal pertemanan. Dia selalu ingin berada di suatu lingkar pertemanan dan tidak ingin ditinggalkan. Ketika teman yang dia anggap spesial pun menolak ajakan darinya atau memiliki teman lain, dia cenderung merasa kecil, merasa tertinggal. Dia bisa melakukan segala hal, seperti mengubah dirinya sendiri, demi diterima dalam lingkar pertemanan tersebut. 

Aneh, pikirku.

Sementara untukku teman, ya…. teman. Tidak perlu selalu hadir, tidak perlu selalu mengirim pesan, tidak juga perlu selalu menemani, tidak harus siap saat kita butuh. Tidak itu semua tidak perlu. Yah, cukup aku kenal kamu, kamu kenal aku, kita beberapa kali bercengkrama, entah itu masalah pribadi atau hal remeh seperti lagu apa yang kamu dengar.

Pacarku selalu memikirkan pandangan orang terhadapnya. Itu membuatnya selalu ingin tampil menjadi yang terbaik di hadapan semua orang. Bahkan dia bisa menampilkan versi dirinya yang sungguh berbeda pada setiap orang. Dia selalu takut mengecewakan setiap orang, setiap teman yang dia miliki.

Aneh, pikirku lagi. Bukankah itu akan menyusahkan diri sendiri yang berujung kekecewaan pada diri sendiri?

Di sisi lain, aku tidak mengambil pusing apa yang orang lain pikirkan tentangku. Setiap orang boleh pergi dariku jika memang itu membuat mereka nyaman, dan aku tidak akan merasa marah atau menyalahkanmu. Toh memang tidak nyaman, lalu kenapa harus dibuat sulit? Aku pun juga demikian, jika aku merasa tidak nyaman dalam sebuah kelompok, aku akan menjauh tanpa perlu menuntut orang lain atau kelompok tersebut untuk mengikuti egoku. Hal ini bukan berarti aku membenci orang-orang yang tidak nyaman padaku maupun orang-orang yang membuatku tidak nyaman. Biasa saja, tidak ada perasaan sebal, marah, atau lainnya yang berlebihan. Menjauh yang kumaksud bukannya memutus total hubungan. Aku masih menganggap mereka semua teman. Toh, aku masih akan datang jika mereka yang membuatku tidak nyaman mengundangku dalam sebuah acara. Begitu juga sebaliknya. Hanya saja tepatnya mengurangi frekuensiku berinteraksi dengan mereka yang membuatku tidak nyaman.

Aku ingat seorang teman pernah bertanya padaku, “Menurutmu aku apa?”

“Teman” jawabku.

“Iya pasti, tapi teman yang apa?” tanyanya lagi.

“Ya, teman. Apalagi? Memang harus dibeda-bedakan?”

“Tidak. Tapi pasti kamu punya daftar teman prioritas, kuga teman biasa. Tidak mungkin kamu anggap semua sama, kan? Apakah kamu secara acak memilih teman yang ada di kontakmu untuk menemanimu makan ramen? Tidak, kan?” jelasnya.

Apa yang dia katakan memang benar. Aku punya sekitar 5 orang yang menempati daftar utama: pacarku dan 4 orang teman. 

Kelima orang tersebut memiliki porsi yang berbeda. Ketika aku lelah dan ingin mencurahkan segala apa yang kualami, tentu saja aku akan menghubungi pacarku. Aku tidak suka menceritakan masalahku pada orang lain selain pacarku. Apalagi menuliskannya di sosial media. Ketika aku ingin pergi ke cafe untuk bekerja, aku tahu harus menghubungi siapa. Ketika aku ingin pergi ke luar negeri, aku tahu siapa yang akan bersedia menemaniku. Ketika aku ingin berbelanja, aku tahu harus mengajak siapa. Ketika aku ingin membuat sebuah karya kolaborasi, aku tahu harus pada siapa aku menuangkan ideku. Memang benar, semua orang punya porsi. Aku tidak mungkin mengajak si A pergi ke luar negeri karena aku tahu itu akan menyulitkannya. Begitu pula dengan si B, aku tidak mungkin mengajaknya pergi ke cafe untuk bekerja karena dia punya pekerjaan tetap di kantornya.

Tapi apakah kemudian nilai mereka berbeda di mataku? Tidak. Mereka tetap sama, mereka tetap temanku. Dan lagi, kenapa dibuat pusing? Kita kan bukan lagi anak sekolah dasar yang harus bersama sahabat selama di kelas, selama di kantin, sampai pulang sekolah. Bukankah pertemanan di umur yang sudah dewasa memang seperti ini? Bukankah ini juga artinya aku menghargai apa yang bisa atau tidak bisa teman-temanku lakukan untukku? Aku tidak memaksakan mereka harus 100% untukku, kan?

Mungkin ini hanya pandanganku. Mungkin kamu dan orang lain pun memiliki pandangan yang berbeda terhadap pertemanan.

Senin, 01 Januari 2024

If You Don't Get What You Expected, What Will You Do?

Kalau kamu tidak dapat apa yang kamu ekspektasikan, apa yang akan kamu lakukan?

Itu yang terus-menerus aku pikirkan selama 2023, terutama di kuartal terakhir.

Seperti sebagian besar orang, di akhir tahun 2022 aku menulis seluruh target dan resolusi untuk tahun 2023. Resolusi dan target yang aku buat setiap tahunnya memang selalu besar dan muluk-muluk. Don't ask me why, I guess I'm just an ambitious person. Pertanyaan sebenarnya adalah "DID I MADE IT?" Well, yes! Give me round applause please, I'm proudly saying this: "EVERY SINGLE YEAR I ACHIEVED ALL OF MY SELFISH GOALS."

Kecuali di tahun 2023.


Mari kembali ke akhir tahun 2022, bulan Desember.

Setelah aku selesai menulis seluruh resolusi yang gila itu, aku menerima pekerjaan yang menjadi awal mula semua kegagalanku. Gosh, did I just blame everyone else? No. Kidding, yes I guess. Tapi sungguh, kupikir semua berawal dari situ. Segalanya selalu lancar dan baik-baik saja sebelum itu. Meski ada satu dua hal masalah baik besar maupun kecil, aku selalu bisa mengatasinya dengan cepat, mungkin hanya butuh 2-6 bulan sampai aku berhasil menemukan solusi dan beradaptasi. But now what? Dari satu pekerjaan yang aku terima Desember 2022 lalu, semuanya jadi terhambat gagal. Parahnya, layaknya domino, rentetan kegagalan itu berlangsung sampai Desember 2023 (bisa dibilang sampai detik ini, bahkan). Terlebih lagi, aku tidak bisa menemukan solusi dan beradaptasi dengan cepat, sehingga rentetan kegagalan itu terjadi. Pathetic. Yes, now I'm blaming myself. 


 Well, if you ask me what I hate the most, I would answer: hal-hal yang berjalan tidak sesuai rencanaku, hal-hal yang tidak teratur, hal-hal yang tidak bisa aku kendalikan.

Aku memang terbiasa membuat rencana dan mengatur segalanya, seperti:

  • urutan baju yang harus dipakai setiap harinya (aku memakai baju yang berbeda setiap harinya, dan terjadwal)
  • rencana tahunan, lengkap dengan target dan segala detailnya
  • rencana bulanan, mingguan, harian, sampai timeline detail tiap jam dalam sehari
  • penataan setiap barang di meja, urutan buku-buku di lemari
Karena itu, aku cukup sulit menerima kenyataan bahwa segala yang kurencanakan gagal. Tidak, aku tidak marah dan menjadi gila, aku hanya hmmm, mungkin kecewa. Kecewa, pada diriku sendiri, pada apapun yang ada di sekitarku. Aku hanya tersenyum masam ketika orang-orang berkata, "Tidak apa-apa. Masih ada tahun depan kok untuk mengejar semuanya!", "Ocin semangat, kamu enggak gagal. Itu cuman tertunda.", "Kamu masih bisa mencapainya. Trust me!" Motivasi semacam itu, termasuk kutipan-kutipan bijak yang sering muncul di media sosial sungguh tidak berarti apa-apa untukku. Bisa dibilang percuma.


Segala hal yang tidak terlaksana selama setahun penuh di 2023 membuatku malas untuk merencanakan ini dan itu untuk tahun selanjutnya. Bahkan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tahun ini, apa yang ingin aku capai, apa yang ingin aku benahi. Sounds like, it's not me.

Aku juga bukan orang yang suka berlarut-larut dalam sebuah masalah, yah sebenarnya aku hanya tidak ingin terlihat lemah, karenanya di kuartal terakhir tahun 2023, aku fokus mencoba dan terus mencoba untuk menerima dan mengatasi seluruh kegagalanku. Mulai dari mengenali lebih dan lebih lagi tentang diri sendiri dengan membuat daftar: yang baik, yang buruk, yang lebih, yang kurang, yang diinginkan, yang dibenci. Aku juga menyibukkan diri untuk menggambar lebih banyak, menghasilkan karya lebih banyak.

Satu hal yang kemudian terlintas di benakku, di penghujung 2023 kemarin, "Bagaimana jika aku melihat semua kegagalanku sebagai hal yang cantik? Bagaimana jika semua kegagalanku adalah apa yang membuatku cantik, apa yang melengkapiku? How if failure is also an art of living, an art of human?"

So, yes. I turned them into some kind of  art, some kind of 'installation', some kind of reminder for me that everything is worth to be celebrated!

Also seeing them in pink and yellow really make them less overwhelming. They look cute tbh :)
Now, I'm ready for the pink and yellow, and maybe blue, green, black or other colors that I'll meet in 2024.